Sabtu, 20 Oktober 2018

Agama Islam



MAKALAH
AGAMA ISLAM TENTANG AQIDAH







DOSEN PEMBIMBING
M. Ikhwan M,
                                               


DI SUSUN OLEH:
Ø  Fahrur Rozi
Ø  Hamdan Holik
Ø  Husnul Mubarok
Ø  Julmi hakiki





UNIVERSITAS IBRAHIMY SUKOREJO
FAKULTAS SAINTEK
SISTEM INFORMASI
2018/2019

























PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Aqidah Islam berpangkal pada keyakinan “Tauhid” yaitu keyakinan tentang wujud Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, baik dalam zat, sifat-sifat maupun perbuatannya. Akhlak mulia berawal dari aqidah, jika aqidahnya sudah baik maka dengan sendirinya akhlak mulia akan terbentuk. Iman yang teguh pasti tidak ada keraguan dalam hatinya dan tidak tercampuri oleh kebimbangan. Beriman kepada Allah pasti akan melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Beriman kepada Allah juga harus beriman kepada Malaikat, Nabi, kitab, hari akhir, qada dan qadar Allah. Aqidah memiliki peranan penting dalam mendidik Manusia, ruanglingkup aqidah yang dapat membentuk akhlak mulia akan mengantarkanmanusia Indonesia sebagai manusia yang mumpuni dalam segala aspek kehidupan. Ruang lingkup dari aqidah yaitu: Ilahiyat, nubuwat, ruhaniyat, dan sam’iyyat1
. Dari ruang lingkup aqidah yang dijadikan rujukankan terbentuknya manusia berakhlakul karimah, berarti manusia dapat menghindari akhlak tercela sebagai manifestasi dari ajaran-ajaran aqidah
Islam.










PEMBAHASAN
A. ‘qidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]






B. Sumber Aqidah Islam
            Jika kita menelaah tulisan para ulama dalam menjelaskan akidah, maka akan didapati 2 sumber pengambilan dalil penting. Dua sumber tersebut meliputi :
1. Dalil asas dan inti yang mencakup Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’ para ulama.
2. Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat manusia dan fitrah kehidupan yang telah diberikan oleh Allah azza wa jalla.
1.  Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah perkataan Allah  yang hakiki, diturunkan kepada Rasulullah dengan proses wahyu, membacanya termasuk ibadah, disampaikan kepada kita dengan jalanmutawaatir (jumlah orang yang banyak dan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong), danterjagadari penyimpangan, perubahan, penambahan dan pengurangan. Dalam hal ini Allah Iberfirman:
إِنَّانَحْنُنَزَّلْنَاالذِّكْرَوَإِنَّالَهُلَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya". (Q.S. Al-Hijr: 9)
Al Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wassalam melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang beriman, dan obat bagi jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ditemui kekurangan dan celaan di dalam Al Qur’an, sebagaimana dalam firman-Nya
“Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al An’am:115)
Al Imam Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat ini kepada Rasul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu yang dibutuhkan manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan di atas pundaknya, termasuk di dalamnya perkara akidah. Allah menurunkan Al Qur’an sebagai sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan manusia sebagai seorang hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan ditemui banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang akidah, baik secara tersurat maupun secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib jika kita mengetahui dan memahami akidah yang bersumber dari Al Qur’an karena kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan tidak pernah sirna ditelan masa.
2. As Sunnah
Seperti halnya Al Qur’an, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang datang dari Allah subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah
“Dan dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali wahyu yang diwahyukan” (Q.S An Najm : 3-4)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:
“Tulislah, Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali kebenaran sambil menunjuk ke lidahnya”. (Riwayat Abu Dawud)
Yang menjadi persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di tengah umat karena begitu banyaknya hadits lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya, hadits yang shohih terkadang diabaikan, bahkan tidak jarang beberapa kata “mutiara” yang bukan berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dinisbatkan kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh musuh-musuh Allah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha Suci Allah yang telah menjaga kemurnian As Sunnah hingga akhir zaman melalui para ulama ahli ilmu. Allah menjaga kemurnian As Sunnah melalui ilmu para ulama yang gigih dalam menjaga dan membela sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dari usaha-usaha penyimpangan. Ini tampak dari ulama-ulama generasi sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga sunnah dengan menghafalnya dan mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam meriwayatkannya. Para ulama inilah yang disebut sebagai para ulama Ahlusunah. Oleh karena itu, perlu kiranya jika kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka agar tidak terseret dalam jurang penyimpangan.
Selain melakukan penjagaan terhadap Sunah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber hukum dalam agama. Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan syariat-termasuk perkara akidah-ditegaskan dalam banyak ayat Al Qur’an, diantaranya firman Allah yang artinya :
“Dan apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang ia larang maka tinggalkanlah” (Q.S Al Hasyr:7)
Dan firman-Nya
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul” (Q.S An Nisaa:59)
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim untuk juga mengambil sumber-sumber hukum akidah dari As Sunnah dengan pemahaman ulama. Ibnul Qoyyim juga pernah berkata “Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wassalam dengan mengulangi kata kerja (taatilah) yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independent tanpa harus mencocokkan terlebih dahulu dengan Al Qur’an, jika beliau memerintahkan sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an dan Sunnah.
3. Ijma’ Para Ulama
            Ijma’ adalah sumber akidah yang berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad sholallahu ‘alaihi wassalam setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah orang yang sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga memahami dan mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan Ijma’, Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya
”Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya orang-orang yang beriman, maka Kami akan biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S An Nisaa:115)
Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariatkannya ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang berarti ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan larangan menyelisihi Rasul. Di dalam pengambilan ijma’ terdapat juga beberapa kaidah-kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah harus bersandarkan kepada dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang shahih karena perkara akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan jalan wahyu. Sedangkan fungsi ijma’ adalah menguatkan Al Quran dan Sunnah serta menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga menjadi qatha’i.
4. Akal Sehat Manusia
            Selain ketiga sumber akidah di atas, akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam. Hal ini merupakan bukti bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya. Termasuk pemuliaan terhadap akal juga bahwa Islam memberikan batasan dan petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh beberapa golongan (firqah) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia tidak dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan, sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman dan Al Qur’an ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”.
 Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan pancaindera untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat tersentuh oleh pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu yang abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih. Al Qur’an dan As Sunnah menjelaskan kepada akal bagaimana cara memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah akal mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa diketahui melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus meyakininya. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan tidak ada kebatilan dalam Qur’an, Sunnah dan Ijma’, tetapi padanya terdapat kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya dengan makna yang batil.
5. Fitrah Kehidupan   
 Dalam sebuah hadits Rasululloh sholallohu ‘alaihi wassalam bersabda :               “Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membuat ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R Muslim).Dari hadits ini dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk menghamba kepada Alloh. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap bayi yang lahir telah mengetahui rincian agama Islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui apa-apa, tetapi setiap manusia memiliki fitrah untuk sejalan dengan Islam sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua pencipta alam yang memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Bahkan, ketika ditimpa musibah pun banyak manusia yang menyeru kepada Alloh seperti dijelaskan dalam firman-Nya.
“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kalian seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling, dan manusia adalah sangat kufur” (Q.S Al Israa’:67)
Semoga Allah memahamkan kita terhadap ilmu yang bermanfaat, mengokohkan keimanan dengan pemahaman yang benar, memuliakan kita dengan amalan-amalan yang bermakna.
C. Ruang Lingkup Pembahasan Aqidah
Meminjam sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lainnya.
2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah, mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan lain sebagainya.
4. Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui lewat Sam’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.[9]
D. Hal-Hal Yang Dapat Meningkatkan Keimanan
1. Mentadabburi Al-Quran
Tadabbur (mengkaji) Al-Quran merupakan salah satu cara yang utama untuk memperkuat keimanan. Semakin dalam seseorang mengkaji Al-Quran, dan semakin banyak ilmu dan ma’rifat yang dia dapatkan di dalamnya, niscaya akan semakin bertambah keimanannya. Demikian pula ketika ia mengamati keteraturan dan ketepatan susunan ayat-ayatnya, niscaya dia akan mendapati bahwa keseluruhan ayat Al-Quran saling membenarkan antara satu dan lainnya, tidak ada pertentangan di antaranya. Apabila seseorang membaca Al-Quran dengan penuh tadabbur, memahami makna dan maksudnya-layaknya buku yang dihafal oleh seseorang lalu ia menerangkannya-niscaya dia akan dapat memahami maksud Allah Swt. yang telah menurunkan Al-Quran tersebut. Dan ini merupakan salah satu penguat iman yang paling besar.
2.   Mengenal Hadits Nabi
Demikian juga mengenal hadits Nabi Saw. dan hal yang dapat menyampaikan kepadanya berupa ilmu-ilmu tentang iman dan amal. Semua itu termasuk perkara-perkara yang akan melahirkan iman dan memperkuatnya. Apabila ma’rifat seorang hamba tentang Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. bertambah, niscaya bertambah pula iman dan keyakinannya hingga ilmu dan imannya telah sampai kepada derajat yakin.
3.   Mengenal Pribadi Nabi
Cara lainnya untuk menghadirkan benih-benih iman adalah ma’rifat kepada Nabi Saw. serta mengenal akhlaknya yang tinggi dan sifatnya yang mulia. Siapa yang benar-benar mengenal beliau niscaya dia tidak akan pernah meragukan kebenarannya dan kebenaran al-Kitab, as-Sunnah, dan agama yang dibawanya.
4.   Tafakkur
Sebab lain yang akan menumbuhkan keimanan adalah tafakkur terhadap alam semesta berupa penciptaan langit, bumi, dan berbagai jenis makhluk yang ada padanya. Demikian juga memikirkan segala apa yang ada pada diri manusia dan sifat yang ada padanya. Semua itu adalah pendorong yang kuat bagi iman. Karena segala sesuatu yang ada merupakan keagungan ciptaan yang menunjukkan qudrat dan kebesaran Yang Maha Pencipta. Selain itu, keindahan dan keteraturan alam yang menakjubkan ini juga menunjukkan ilmu Allah Ta’ala yang luas dan hikmah (kebijaksanaan)-Nya yang mencakup segala hal.
Demikian pula memikirkan faqirnya semua makhluk dan berhajatnya mereka kepada Rabbnya dari semua sisi. Makhluk tak bisa terlepas dari Allah sekejap mata pun. Hal itu mengharuskan hamba untuk tunduk secara sempurna, banyak berdo’a, dan bermunajat kepada Allah guna meraih apa yang dibutuhkannya untuk kebaikan agama dan dunianya serta menolak segala yang akan melahirkan kemudharatan bagi keduanyanya. Lebih dari itu, ia juga akan melahirkan sikap tawakkal sepenuhnya kepada Allah, keinginan yang kuat untuk mendapatkan kebaikan dan ihsan-Nya, serta keyakinan yang sempurna terhadap janji Allah Swt. Dengan ini, iman menjadi mantap dan kuat. Demikian pula dengan tafakkur terhadap banyaknya nikmat Allah yang selalu dibutuhkan oleh semua makhluk setiap pada saat.
5.   Banyak Berdzikir
Sebab lain yang dapat memperkuat keimanan adalah memperbanyak dzikir dan berdo’a kepada Allah . Yaitu dzikir yang dilakukan setiap saat, baik dengan lisan, hati, amal (perbuatan), maupun sikap. Perlu diingat bahwa kadar keimanan seseorang tergantung pada banyaknya ia berdzikir.
6.   Mengenal Kebaikan-kebaikan Islam
Menyadari kebaikan-kebaikan yang ada pada ajaran Islam merupakan salah satu faktor penguat keimanan. Sesungguhnya semua ajaran Islam baik. ‘Aqidahnya adalah yang paling benar dan paling bermanfaat. Akhlaknya adalah yang paling bagus. Segala hukum dan amalan yang ada di dalamnya adalah yang terbaik dan teradil. Dengan cara pandang seperti ini, Allah Ta’ala akan menghiasi hati hamba dengan keimanan dan menjadikannya cinta kepada-Nya.
7.   Beribadah Dengan Optimal
Faktor penting lainnya yang dapat menguatkan keimanan adalah beribadah kepada Allah dengan ihsan (optimal) dan berbuat baik kepada makhluk-Nya. Ihsan dalam beribadah terwujud dengan bersungguh-sungguh ketika beribadah kepada Allah seakan-akan ia melihat-Nya. Jika ia tak mampu   melakukan hal itu, maka ia menghadirkan dalam hatinya satu keyakinan bahwa Allah menyaksikan dan melihatnya. Hal ini akan membuat seorang hamba bersungguh-sungguh dalam beramal dan melakukannya dengan sangat baik. Ia senantiasa berjuang melawan nafsunya sehingga iman dan keyakinannya kuat dan sampai kepada derajat haqqul yaqin yang merupakan martabat keimanan yang paling tinggi. Itulah saat ketika ia merasakan manisnya berbuat taat.
8.   Berdakwah
Berdakwah mengajak kepada Allah dan agama-Nya, serta saling menasihati dengan kebenaran dan kesabaran merupakan faktor lain yang dapat mempertebal keimanan. Dengan berdakwah seorang hamba berarti menyempurnakan (keimanan) dirinya dan keimanan orang lain.
9.   Menjauhi Perbuatan Dosa
Hal lain yang akan mengokohkan keimanan adalah menjauhkan diri dari segala yang mengantarkan kepada kekufuran, nifak, fasik, dan maksiat.



10.   Mengerjakan Ibadah Sunnah
Termasuk sebab penguat iman juga adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah sunnah setelah yang fardhu dan mendahulukan apa yang dicintai Allah atas segala yang lainnya ketika melawan hawa nafsu.
11.   Berkhalwat
Di antaranya juga adalah berkhalwat (menyendiri) bersama Allah ketika Dia turun (ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir) untuk munajat kepada-Nya dan membaca Kalam-Nya (Al-Quran), dengan menghadapkan hati penuh penghambaan di hadapan-Nya, kemudian menutupnya dengan istighfar dan taubat.

12.   Dekat Dengan Ulama dan Orang Shalih
Penguat iman lainnya adalah duduk (di satu majelis) dengan para ulama yang benar dan ikhlas guna memetik buah yang baik dari perkataan mereka, seperti dipilihnya buah yang baik (dari pohon).
13.   Menjaga Hati
Hal lain yang akan menguatkan keimanan adalah menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dapat membatasi dan memisahkan antara hati seorang hamba dan Allah Ta’ala.

PENUTUP
A. Kesimpulan
           Dalam keseluruhan bangunan Islam, aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi. Di mana seluruh komponen ajaran Islam tegak di atasnya. Aqidah merupakan beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan itulah seseorang termotivasi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya. Karena sifatnya keyakinan maka materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang disampaikan oleh Allah Swt. melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad Saw.
Pada hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat dan berhati-hati.
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua sumber tersebut dan mencobakalau diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.


DAFTAR PUSTAKA
Amudidin ,dkk. 2006 .Pendidikan Agama Islam . Jakarta: Graha Ilmu.hal 53
Drs. Muhammad Alim, M. Ag, 2006.  Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya ). Hal. 181
Suresman Edi.  1993 Aqidah Islam. Malang : IKIP Press
Drs. H. Yunahar Ilyas.  Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 1

Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1997

0 comments:

Posting Komentar