MAKALAH
AGAMA ISLAM TENTANG AQIDAH
DOSEN PEMBIMBING
M. Ikhwan M,
DI SUSUN OLEH:
Ø Fahrur
Rozi
Ø
Hamdan Holik
Ø
Husnul Mubarok
Ø
Julmi hakiki
UNIVERSITAS IBRAHIMY
SUKOREJO
FAKULTAS SAINTEK
SISTEM INFORMASI
2018/2019
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang Masalah
Aqidah Islam berpangkal pada keyakinan “Tauhid” yaitu keyakinan
tentang wujud Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada yang menyekutuinya, baik
dalam zat, sifat-sifat maupun perbuatannya. Akhlak mulia berawal dari aqidah,
jika aqidahnya sudah baik maka dengan sendirinya akhlak mulia akan terbentuk.
Iman yang teguh pasti tidak ada keraguan dalam hatinya dan tidak tercampuri
oleh kebimbangan. Beriman kepada Allah pasti akan melaksanakan segala
perintahnya dan menjauhi larangannya. Beriman kepada Allah juga harus beriman
kepada Malaikat, Nabi, kitab, hari akhir, qada dan qadar Allah. Aqidah memiliki
peranan penting dalam mendidik Manusia, ruanglingkup aqidah yang dapat
membentuk akhlak mulia akan mengantarkanmanusia Indonesia sebagai manusia yang
mumpuni dalam segala aspek kehidupan. Ruang lingkup dari aqidah yaitu:
Ilahiyat, nubuwat, ruhaniyat, dan sam’iyyat1
.
Dari ruang lingkup aqidah yang dijadikan rujukankan terbentuknya manusia
berakhlakul karimah, berarti manusia dapat menghindari akhlak tercela sebagai
manifestasi dari ajaran-ajaran aqidah
Islam.
PEMBAHASAN
A. ‘qidah (اَلْعَقِيْدَةُ) menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata al-‘aqdu (الْعَقْدُ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu(التَّوْثِيْقُ) yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat, al-ihkaamu (اْلإِحْكَامُ) yang artinya mengokohkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah (الرَّبْطُ بِقُوَّةٍ) yang berarti mengikat dengan kuat.[1]Sedangkan menurut istilah (terminologi): ‘aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Jadi, ‘Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan segala pelaksanaan kewajiban, bertauhid[2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama (Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma’ (konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath’i (pasti), baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma’ Salafush Shalih.[3]
B. Sumber
Aqidah Islam
Jika kita menelaah
tulisan para ulama dalam menjelaskan akidah, maka akan didapati 2 sumber
pengambilan dalil penting. Dua sumber tersebut meliputi :
1. Dalil asas dan inti yang mencakup Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’
para ulama.
2.
Dalil penyempurnaan yang mencakup akal sehat manusia dan fitrah kehidupan yang
telah diberikan oleh Allah azza wa jalla.
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah perkataan Allah
yang hakiki, diturunkan kepada Rasulullah dengan proses wahyu,
membacanya termasuk ibadah, disampaikan kepada kita dengan jalanmutawaatir
(jumlah orang yang banyak dan tidak mungkin bersepakat untuk berbohong), danterjagadari penyimpangan,
perubahan, penambahan dan pengurangan. Dalam hal ini Allah Iberfirman:
إِنَّانَحْنُنَزَّلْنَاالذِّكْرَوَإِنَّالَهُلَحَافِظُونَ
"Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar
memeliharanya". (Q.S. Al-Hijr: 9)
Al Qur’an adalah firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah
sholallahu ‘alaihi wassalam melalui perantara Jibril. Di dalamnya, Allah telah
menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh hamba-Nya sebagai bekal
kehidupan di dunia maupun di akhirat. Ia merupakan petunjuk bagi orang-orang
yang diberi petunjuk, pedoman hidup bagi orang yang beriman, dan obat bagi
jiwa-jiwa yang terluka. Keagungan lainnya adalah tidak akan pernah ditemui
kekurangan dan celaan di dalam Al Qur’an, sebagaimana dalam firman-Nya
“Telah
sempurnalah kalimat Rabbmu (Al Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al An’am:115)
Al
Imam Asy Syatibi mengatakan bahwa sesungguhnya Allah telah menurunkan syariat
ini kepada Rasul-Nya yang di dalamnya terdapat penjelasan atas segala sesuatu
yang dibutuhkan manusia tentang kewajiban dan peribadatan yang dipikulkan di
atas pundaknya, termasuk di dalamnya perkara akidah. Allah menurunkan Al Qur’an
sebagai sumber hukum akidah karena Dia tahu kebutuhan manusia sebagai seorang
hamba yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Bahkan jika dicermati, akan
ditemui banyak ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan tentang akidah, baik
secara tersurat maupun secara tersirat. Oleh karena itu, menjadi hal yang wajib
jika kita mengetahui dan memahami akidah yang bersumber dari Al Qur’an karena
kitab mulia ini merupakan penjelasan langsung dari Rabb manusia, yang haq dan
tidak pernah sirna ditelan masa.
2. As Sunnah
Seperti halnya Al Qur’an, As Sunnah adalah satu jenis wahyu yang
datang dari Allah subhanahu wata’ala walaupun lafadznya bukan dari Allah tetapi
maknanya datang dari-Nya. Hal ini dapat diketahui dari firman Allah
“Dan
dia (Muhammad) tidak berkata berdasarkan hawa nafsu, ia tidak lain kecuali
wahyu yang diwahyukan” (Q.S An Najm : 3-4)
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wassalam juga bersabda:
“Tulislah,
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak keluar darinya kecuali
kebenaran sambil menunjuk ke lidahnya”. (Riwayat Abu Dawud)
Yang
menjadi persoalan kemudian adalah kebingungan yang terjadi di tengah umat
karena begitu banyaknya hadits lemah yang dianggap kuat dan sebaliknya, hadits
yang shohih terkadang diabaikan, bahkan tidak jarang beberapa kata “mutiara”
yang bukan berasal dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dinisbatkan
kepada beliau. Hal ini tidak lepas dari usaha penyimpangan yang dilakukan oleh
musuh-musuh Allah untuk mendapatkan keuntungan yang sedikit. Akan tetapi, Maha
Suci Allah yang telah menjaga kemurnian As Sunnah hingga akhir zaman melalui
para ulama ahli ilmu. Allah menjaga kemurnian As Sunnah melalui ilmu para ulama
yang gigih dalam menjaga dan membela sunnah-sunnah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam dari usaha-usaha penyimpangan. Ini tampak dari ulama-ulama generasi
sahabat hingga ulama dewasa ini yang menjaga sunnah dengan menghafalnya dan
mengumpulkannya serta berhati-hati di dalam meriwayatkannya. Para ulama inilah
yang disebut sebagai para ulama Ahlusunah. Oleh karena itu, perlu kiranya jika
kita menuntut dan belajar ilmu dari mereka agar tidak terseret dalam jurang
penyimpangan.
Selain
melakukan penjagaan terhadap Sunah, Allah menjadikan Sunnah sebagai sumber
hukum dalam agama. Kekuatan As Sunnah dalam menetapkan syariat-termasuk perkara
akidah-ditegaskan dalam banyak ayat Al Qur’an, diantaranya firman Allah yang
artinya :
“Dan
apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah dan apa yang ia larang
maka tinggalkanlah” (Q.S Al Hasyr:7)
Dan firman-Nya
“Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul” (Q.S An Nisaa:59)
Firman
Allah tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim
untuk juga mengambil sumber-sumber hukum akidah dari As Sunnah dengan pemahaman
ulama. Ibnul Qoyyim juga pernah berkata “Allah memerintahkan untuk mentaati-Nya
dan mentaati Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wassalam dengan mengulangi kata kerja
(taatilah) yang menandakan bahwa menaati Rasul wajib secara independent tanpa
harus mencocokkan terlebih dahulu dengan Al Qur’an, jika beliau memerintahkan
sesuatu. Hal ini dikarenakan tidak akan pernah ada pertentangan antara Qur’an
dan Sunnah.
3. Ijma’ Para Ulama
Ijma’ adalah sumber akidah yang
berasal dari kesepakatan para mujtahid umat Muhammad sholallahu ‘alaihi
wassalam setelah beliau wafat, tentang urusan pada suatu masa. Mereka bukanlah
orang yang sekedar tahu tentang masalah ilmu tetapi juga memahami dan
mengamalkan ilmu. Berkaitan dengan Ijma’, Allah subhanahu wata’ala berfirman
yang artinya
”Dan
barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
kebenaran baginya dan mengikuti jalan bukan jalannya orang-orang yang beriman,
maka Kami akan biarkan ia leluasa berbuat kesesatan yang ia lakukan dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (Q.S
An Nisaa:115)
Imam
Syafi’i menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil pembolehan disyariatkannya
ijma’, yaitu diambil dari kalimat “jalannya orang-orang yang beriman” yang
berarti ijma’. Beliau juga menambahkan bahwa dalil ini adalah dalil syar’i yang
wajib untuk diikuti karena Allah menyebutkannya secara bersamaan dengan
larangan menyelisihi Rasul. Di dalam pengambilan ijma’ terdapat juga beberapa
kaidah-kaidah penting yang tidak boleh ditinggalkan. Ijma’ dalam masalah akidah
harus bersandarkan kepada dalil dari Al Qur’an dan Sunnah yang shahih karena
perkara akidah adalah perkara tauqifiyah yang tidak diketahui kecuali dengan
jalan wahyu. Sedangkan fungsi ijma’ adalah menguatkan Al Quran dan Sunnah serta
menolak kemungkinan terjadinya kesalahan dalam dalil yang dzani sehingga
menjadi qatha’i.
4. Akal Sehat Manusia
Selain ketiga sumber akidah di atas,
akal juga menjadi sumber hukum akidah dalam Islam. Hal ini merupakan bukti
bahwa Islam sangat memuliakan akal serta memberikan haknya sesuai dengan kedudukannya.
Termasuk pemuliaan terhadap akal juga bahwa Islam memberikan batasan dan
petunjuk kepada akal agar tidak terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang
tidak benar. Hal ini sesuai dengan sifat akal yang memiliki keterbatasan dalam
memahami suatu ilmu atau peristiwa.
Agama
Islam tidak membenarkan pengagungan terhadap akal dan tidak pula membenarkan
pelecehan terhadap kemampuan akal manusia, seperti yang biasa dilakukan oleh
beberapa golongan (firqah) yang menyimpang. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Akal merupakan syarat untuk memahami ilmu dan kesempurnaan dalam
amal, dengan keduanyalah ilmu dan amal menjadi sempurna. Hanya saja ia tidak
dapat berdiri sendiri. Di dalam jiwa, ia berfungsi sebagai sumber kekuatan,
sama seperti kekuatan penglihatan pada mata yang jika mendapatkan cahaya iman
dan Al Qur’an ia seperti mendapatkan cahaya matahari dan api. Akan tetapi, jika
ia berdiri sendiri, ia tidak akan mampu melihat (hakikat) sesuatu dan jika sama
sekali dihilangkan ia akan menjadi sesuatu yang berunsur kebinatangan”.
Eksistensi akal memiliki keterbatasan pada apa
yang bisa dicerna tentang perkara-perkara nyata yang memungkinkan pancaindera
untuk menangkapnya. Adapun masalah-masalah gaib yang tidak dapat tersentuh oleh
pancaindera maka tertutup jalan bagi akal untuk sampai pada hakikatnya. Sesuatu
yang abstrak atau gaib, seperti akidah, tidak dapat diketahui oleh akal kecuali
mendapatkan cahaya dan petunjuk wahyu baik dari Al Qur’an dan As Sunnah yang
shahih. Al Qur’an dan As Sunnah menjelaskan kepada akal bagaimana cara
memahaminya dan melakukan masalah tersebut. Salah satu contohnya adalah akal
mungkin tidak bisa menerima surga dan neraka karena tidak bisa diketahui
melalui indera. Akan tetapi melalui penjelasan yang berasal dari Al Qur’an dan
As Sunnah maka akan dapat diketahui bahwasanya setiap manusia harus
meyakininya. Mengenai hal ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa apa yang tidak
terdapat dalam Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ yang menyelisihi akal sehat
karena sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat adalah batil, sedangkan
tidak ada kebatilan dalam Qur’an, Sunnah dan Ijma’, tetapi padanya terdapat
kata-kata yang mungkin sebagian orang tidak memahaminya atau mereka memahaminya
dengan makna yang batil.
5. Fitrah Kehidupan
Dalam sebuah hadits Rasululloh sholallohu
‘alaihi wassalam bersabda :
“Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah
yang membuat ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R Muslim).Dari hadits
ini dapat diketahui bahwa sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk
menghamba kepada Alloh. Akan tetapi, bukan berarti bahwa setiap bayi yang lahir
telah mengetahui rincian agama Islam. Setiap bayi yang lahir tidak mengetahui
apa-apa, tetapi setiap manusia memiliki fitrah untuk sejalan dengan Islam
sebelum dinodai oleh penyimpangan-penyimpangan. Bukti mengenai hal ini adalah
fitrah manusia untuk mengakui bahwa mustahil ada dua pencipta alam yang
memiliki sifat dan kemampuan yang sama. Bahkan, ketika ditimpa musibah pun
banyak manusia yang menyeru kepada Alloh seperti dijelaskan dalam firman-Nya.
“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah
siapa yang kalian seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kalian ke
daratan, kalian berpaling, dan manusia adalah sangat kufur” (Q.S Al Israa’:67)
Semoga
Allah memahamkan kita terhadap ilmu yang bermanfaat, mengokohkan keimanan
dengan pemahaman yang benar, memuliakan kita dengan amalan-amalan yang
bermakna.
C. Ruang Lingkup
Pembahasan Aqidah
Meminjam
sistimatika Hasaln al-Banna maka ruang lingkup pembahasan aqidah adalah:
1. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan
sifat-sifat Allah, af’al Allah dan lainnya.
2. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk tentang Kitab-Kitab Allah,
mu’jizat, karamat dan lain sebagainya.
3. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis, Syetan, Roh dan
lain sebagainya.
4.
Sam’iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui
lewat Sam’i (dalil naqli berupa Al-Qur’an dan Sunnah) seperti alam barzakh,
akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surga neraka dan lain sebagainya.[9]
D. Hal-Hal Yang Dapat Meningkatkan
Keimanan
1. Mentadabburi Al-Quran
Tadabbur (mengkaji) Al-Quran merupakan salah satu cara yang utama
untuk memperkuat keimanan. Semakin dalam seseorang mengkaji Al-Quran, dan
semakin banyak ilmu dan ma’rifat yang dia dapatkan di dalamnya, niscaya akan
semakin bertambah keimanannya. Demikian pula ketika ia mengamati keteraturan
dan ketepatan susunan ayat-ayatnya, niscaya dia akan mendapati bahwa
keseluruhan ayat Al-Quran saling membenarkan antara satu dan lainnya, tidak ada
pertentangan di antaranya. Apabila seseorang membaca Al-Quran dengan penuh
tadabbur, memahami makna dan maksudnya-layaknya buku yang dihafal oleh
seseorang lalu ia menerangkannya-niscaya dia akan dapat memahami maksud Allah
Swt. yang telah menurunkan Al-Quran tersebut. Dan ini merupakan salah satu
penguat iman yang paling besar.
2. Mengenal Hadits Nabi
Demikian juga mengenal hadits Nabi Saw. dan hal yang dapat
menyampaikan kepadanya berupa ilmu-ilmu tentang iman dan amal. Semua itu
termasuk perkara-perkara yang akan melahirkan iman dan memperkuatnya. Apabila
ma’rifat seorang hamba tentang Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw. bertambah,
niscaya bertambah pula iman dan keyakinannya hingga ilmu dan imannya telah
sampai kepada derajat yakin.
3. Mengenal Pribadi Nabi
Cara lainnya untuk menghadirkan benih-benih iman adalah ma’rifat
kepada Nabi Saw. serta mengenal akhlaknya yang tinggi dan sifatnya yang mulia.
Siapa yang benar-benar mengenal beliau niscaya dia tidak akan pernah meragukan
kebenarannya dan kebenaran al-Kitab, as-Sunnah, dan agama yang dibawanya.
4. Tafakkur
Sebab lain yang akan menumbuhkan keimanan adalah tafakkur terhadap
alam semesta berupa penciptaan langit, bumi, dan berbagai jenis makhluk yang
ada padanya. Demikian juga memikirkan segala apa yang ada pada diri manusia dan
sifat yang ada padanya. Semua itu adalah pendorong yang kuat bagi iman. Karena
segala sesuatu yang ada merupakan keagungan ciptaan yang menunjukkan qudrat dan
kebesaran Yang Maha Pencipta. Selain itu, keindahan dan keteraturan alam yang
menakjubkan ini juga menunjukkan ilmu Allah Ta’ala yang luas dan hikmah
(kebijaksanaan)-Nya yang mencakup segala hal.
Demikian
pula memikirkan faqirnya semua makhluk dan berhajatnya mereka kepada Rabbnya
dari semua sisi. Makhluk tak bisa terlepas dari Allah sekejap mata pun. Hal itu
mengharuskan hamba untuk tunduk secara sempurna, banyak berdo’a, dan bermunajat
kepada Allah guna meraih apa yang dibutuhkannya untuk kebaikan agama dan
dunianya serta menolak segala yang akan melahirkan kemudharatan bagi
keduanyanya. Lebih dari itu, ia juga akan melahirkan sikap tawakkal sepenuhnya
kepada Allah, keinginan yang kuat untuk mendapatkan kebaikan dan ihsan-Nya,
serta keyakinan yang sempurna terhadap janji Allah Swt. Dengan ini, iman menjadi
mantap dan kuat. Demikian pula dengan tafakkur terhadap banyaknya nikmat Allah
yang selalu dibutuhkan oleh semua makhluk setiap pada saat.
5. Banyak Berdzikir
Sebab lain yang dapat memperkuat keimanan adalah memperbanyak
dzikir dan berdo’a kepada Allah . Yaitu dzikir yang dilakukan setiap saat, baik
dengan lisan, hati, amal (perbuatan), maupun sikap. Perlu diingat bahwa kadar
keimanan seseorang tergantung pada banyaknya ia berdzikir.
6. Mengenal
Kebaikan-kebaikan Islam
Menyadari kebaikan-kebaikan yang ada pada ajaran Islam merupakan
salah satu faktor penguat keimanan. Sesungguhnya semua ajaran Islam baik.
‘Aqidahnya adalah yang paling benar dan paling bermanfaat. Akhlaknya adalah
yang paling bagus. Segala hukum dan amalan yang ada di dalamnya adalah yang
terbaik dan teradil. Dengan cara pandang seperti ini, Allah Ta’ala akan
menghiasi hati hamba dengan keimanan dan menjadikannya cinta kepada-Nya.
7. Beribadah Dengan Optimal
Faktor penting lainnya yang dapat menguatkan keimanan adalah
beribadah kepada Allah dengan ihsan (optimal) dan berbuat baik kepada
makhluk-Nya. Ihsan dalam beribadah terwujud dengan bersungguh-sungguh ketika
beribadah kepada Allah seakan-akan ia melihat-Nya. Jika ia tak mampu melakukan hal itu, maka ia menghadirkan
dalam hatinya satu keyakinan bahwa Allah menyaksikan dan melihatnya. Hal ini
akan membuat seorang hamba bersungguh-sungguh dalam beramal dan melakukannya
dengan sangat baik. Ia senantiasa berjuang melawan nafsunya sehingga iman dan
keyakinannya kuat dan sampai kepada derajat haqqul yaqin yang merupakan
martabat keimanan yang paling tinggi. Itulah saat ketika ia merasakan manisnya
berbuat taat.
8. Berdakwah
Berdakwah mengajak kepada Allah dan agama-Nya, serta saling
menasihati dengan kebenaran dan kesabaran merupakan faktor lain yang dapat
mempertebal keimanan. Dengan berdakwah seorang hamba berarti menyempurnakan
(keimanan) dirinya dan keimanan orang lain.
9.
Menjauhi Perbuatan Dosa
Hal lain yang akan mengokohkan keimanan adalah menjauhkan diri dari
segala yang mengantarkan kepada kekufuran, nifak, fasik, dan maksiat.
10.
Mengerjakan Ibadah Sunnah
Termasuk sebab
penguat iman juga adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
ibadah sunnah setelah yang fardhu dan mendahulukan apa yang dicintai Allah atas
segala yang lainnya ketika melawan hawa nafsu.
11.
Berkhalwat
Di antaranya juga adalah berkhalwat (menyendiri) bersama Allah
ketika Dia turun (ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir) untuk munajat
kepada-Nya dan membaca Kalam-Nya (Al-Quran), dengan menghadapkan hati penuh
penghambaan di hadapan-Nya, kemudian menutupnya dengan istighfar dan taubat.
12. Dekat
Dengan Ulama dan Orang Shalih
Penguat iman lainnya adalah duduk (di satu majelis) dengan para
ulama yang benar dan ikhlas guna memetik buah yang baik dari perkataan mereka,
seperti dipilihnya buah yang baik (dari pohon).
13. Menjaga Hati
Hal lain yang akan menguatkan keimanan adalah menjauhkan diri dari
segala sesuatu yang dapat membatasi dan memisahkan antara hati seorang hamba
dan Allah Ta’ala.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam keseluruhan bangunan Islam,
aqidah dapat diibaratkan sebagai fondasi. Di mana seluruh komponen ajaran Islam
tegak di atasnya. Aqidah merupakan beberapa prinsip keyakinan. Dengan keyakinan
itulah seseorang termotivasi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya.
Karena sifatnya keyakinan maka materi aqidah sepenuhnya adalah informasi yang
disampaikan oleh Allah Swt. melalui wahyu kepada nabi-Nya, Muhammad Saw.
Pada
hakikatnya filsafat dalam bahasan aqidah tetap bersumber pada Al-Qur’an dan
Sunnah. Allah menganugerahkan kebijakan dan kecerdasan berfikir kepada manusia
untuk mengenal adanya Allah dengan memperhatikan alam sebagai bukti hasil
perbuatan-Nya Yang Maha Kuasa. Hasil perbuatan Allah itu serba teratur, cermat
dan berhati-hati.
Sumber
aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah menjadi sumber
aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat dalam kedua
sumber tersebut dan mencobakalau diperlukan membuktikan secara ilmiah kebenaran
yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus didasari oleh suatu
kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang terbatas/akal
tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi
aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah maka
syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
DAFTAR PUSTAKA
Amudidin ,dkk. 2006 .Pendidikan Agama Islam . Jakarta: Graha
Ilmu.hal 53
Drs. Muhammad Alim, M. Ag, 2006.
Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya ). Hal. 181
Suresman Edi. 1993 Aqidah
Islam. Malang : IKIP Press
Drs. H. Yunahar Ilyas.
Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 1
Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1997
0 comments:
Posting Komentar